SUNGGUH nestapa derita rakyat yang tak putus dirundung malang di negerinya sendiri. Betapa tidak, berbagai ancaman dan teror terhadap rakyat selalu datang silih berganti. Tidak hanya ancaman pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga teror terenggutnya nyawa secara sia-sia nyaris tidak dapat dielakkan. Ironisnya, pemerintah, yang seharusnya melindungi segenap rakyat, hampir tidak pernah hadir pada saat munculnya berbagai gangguan ancaman dan teror terhadap rakyat. Kalau pun akhirnya datang juga, sering terlambat, sehingga tidak mampu meringankan derita rakyat.
Ulah segelintir saudagar dan investor asing dalam melakukan pembabatan hutan habis-habisan dan pengedukan berbagai tambang secara ugal-ugalan telah memberikan andil menempatkan Indonesia sebagai negeri 'Supermarket Bencana' terbesar di dunia.
Tak ayal lagi, banjir, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, lahar panas-dingin dan lumpur panas selalu menghantui relung kehidupan rakyat Indonesia.
Setiap terjadi berbagai bencana, banyak nyawa rakyat terenggut secara sia-sia. Kalau pun nyawanya bisa diselamatkan, mereka masih harus berjuang menghadapi ancaman menjadi miskin atau menjadi lebih miskin lagi akibat mata pencaharian mereka terenggut oleh bencana. Pemerintah Pusat maupun Daerah selalu saja terlambat hadir di tengah rakyatnya yang tertimpa bencana, bahkan juga terkesan 'tidak becus' dalam menangani pasca bencana, sehingga derita rakyat akibat bencana harus ditanggung sendiri oleh rakyat.
Ulah ceroboh PT Lapindo Brantas, operator pengeboran migas di bawah imperium bisnis Group Bakrie, mengakibatkan derita rakyat Sidoarjo berkepanjangan hingga kini. Semburan lumpur panas yang terjadi sejak Juli 2006 tidak hanya merenggut nyawa rakyat secara sia- sia, tetapi juga telah meluluhlantakkan ratusan hektar lahan beserta seluruh bangunan rumah penduduk, usaha ekonomi rakyat, sekolahan, tempat ibadah dan infrastruktur yang porak-poranda.
Sungguh nestapa derita rakyat Sidoarjo, yang sudah terusir dari tempat tinggalnya dan kehilangan mata pencahariannya, masih harus memperjuangkan haknya untuk memperoleh ganti rugi yang layak. Kendati berbagai upaya sudah ditempuh, bahkan sudah melakukan prosesi 'nglurug' ke Istana Presiden hingga dua kali, tetapi penyelesaian ganti rugi tak kunjung tuntas sampai sekarang.
Ulah pemerintah dalam menghapus subsidi minyak tanah melalui konversi Gas Elpiji 3 kg yang dilakukan secara serampangan ternyata mendatangkan acaman teror bom bagi rakyat kecil. Program konversi ini tampaknya hanya dimaksudkan untuk menghapus subsidi minyak tanah semata, sementara beban dampak konversi ditimpakan sepenuhnya kepada rakyat. Pada saat sebagian besar rakyat sudah beralih ke kompor gas, harga gas elpiji 3 kg tiba-tiba membumbung tinggi, sehingga rakyat harus membayar mahal. Di tengah ancaman meroketnya harga gas, muncul teror bom yang mengancam setiap rumah tangga dan warung makan kaki lima pengguna kompor gas elpiji 3 kg. Hampir setiap hari, ledakan demi ledakan terjadi serempak di berbagai daerah. Berbagai ledakan itu telah merenggut nyawa sejumlah korban meninggal dan menggosongkan tubuh korban selamat.
Lagi-lagi pemerintah selalu terlambat datang menyelamatkan korban meninggal dan lempar tanggung jawab mengobati korban selamat. Setelah seorang ibu membawa anaknya yang sekujur tubuhnya 'gosong' melakukan prosesi pepe di depan Istana Presiden, barulah korban mendapat santunan perawatan di RSCM secara gratis. Untuk mendapat santunan, haruskah seluruh korban ledakan melakukan prosesi pepe serupa di depan Istana?
Ulah pemerintah yang istikhomah melakukan penghambaan terhadap mekanisme pasar merupakan salah satu faktor yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok melangit ketika ada masalah pasokan di pasar. Dalam sebulan terakhir ini rakyat tercekik lehernya untuk bisa membeli kebutuhan pokok akibat kenaikan harga yang sudah tidak terkontrol lagi. Kenaikan harga-harga di atas 100% menyebabkan beban rakyat kecil semakin berat. Bagi rakyat tergolong miskin akan menjadi semakin miskin, sedangkan rakyat yang tergolong mendekati miskin akan menjadi miskin, lantaran penghasilannya harus terkuras habis untuk membayar kenaikan harga- harga kebutuhan pokok. Ironisnya, pemerintahhampir tidak dapat berkutik menurunkan kenaikan harga yang semakin liar, sehingga derita rakyat semakin berkepanjangan. Paling-paling pemerintah hanya bisa mengimbau kepada rakyat untuk mengurangi makan nasi dan sambal. Pemerintah juga hanya menyarankan kepada petani untuk mensiasati adanya perubahan iklim dalam bercocok tanam, tanpa ada upaya serius dan sistemik membantu petani mensiasatinya.
Di tengah derita rakyat yang seolah tanpa kesudahan, barangkali rakyat bertanya dalam hati: "adakah pihak-pihak yang bersedia membatu meringankan beban derita rakyat?" Atau: "mustikah rakyat harus menunggu musim kampanye pemilihan umum untuk sekadar mendapatkan santunan meringankan penderitaannya?" Entah siapa yang hendak menjawab.
(Penulis adalah Dosen FEB UGM dan Direktur Mubyarto Institute)
sumber: http://www.kr.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas comment nya kawan. Silahkan datang kembali ke blog saya ini ya?