Suku Bathin yang Bersahaja - Pelayangwap

Breaking

Recent Posts

Minggu, 24 April 2011

Suku Bathin yang Bersahaja

PELAYANG BLOG - Jambi,Belum banyak tulisan yang membahas tentang Suku Bathin yang kini mulai hilang jejaknya. Program transmigrasi telah merampas hutan adat mereka. Pengambilaihan perusahaan sawit juga semakin menghilangkan keberadaan suku ini. Padahal, komunitas adat ini memiliki filosofi hidup yang penting untuk dipelajari, seperti pola membuka lahan dan tradisi besalih (ritual berobat).
Komunitas Suku Bathin, umumnya dikenal dengan Bathin IX, hidup berpencar di hutan Jambi, yakni di sepanjang Sembilan daerah aliran sungai di Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, dan Sarolangun. Anehnya, dari jumlah itu, ternyata sebagian besar dari mereka tak menyadari dirinya sebagai keturunan Suku Bathin IX, akibatnya suku ini tidak utuh lagi.
Identitas Suku Bathin IX menjadi tenggelam ketika Departemen Sosial mengadakan program permukiman kembali masyarakat terasing (PKMT), di mana identitas Suku Bathin IX dan Orang Rimba disatukan menjadi Suku Anak Dalam.
Menurut literatur yang ada, nenek moyang Bathin dipercaya berasal dari Kerajaan Mataram. Raja Mataram dipercaya memiliki anak bernama Pangeran Nagasari, di mana keturunannya kemudian membentuk kelompok baru dan menempati sepanjang Sungai Semak (kini Sungai Bulian), Bahar, Singoan, Jebak, Jangga, Telisak, Sekamis, Semusir, dan Burung Hantu.
Hutan dan Besalih
Hutan adalah tempat kehidupan Suku Bathin sejak dulu kala. Bahkan, hutan dan Suku Bathin seakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Mereka dikenal sebagai suku yang bersahabat dengan alam. Beragam ritual dan upacara adat digelar untuk menghormati alam dan leluhur. Jika ada warga yang membuka lahan untuk menanam padi, jagung, dan ubi, mereka akan mendahuluinya dengan rangkaian ritual agar diberkati oleh alam dan Tuhan.
Selain ritual upacara dan doa, Suku Bathin juga memiliki pengetahuan sebagai sistem pola pertanian mereka. Sebelum membuka lahan, misalnya, warga Suku Bathin akan menancapkan kayu temeras selama 3 hari di lokasi yang akan dibuka sebagai lahan kebun. Lalu, seorang dukun akan melakukan ritual untuk mendapatkan perasaan tertentu apakah wilayah itu dapat dibuka menjadi kebun atau tidak. Jika sang dukun mendapatkan perasaan baik, maka kebun dapat dibuka. Namun jika tidak, maka mereka akan mencari tanah lain.
Suku Bathin juga memiliki ritual Besalih yang berarti berobat. Ini adalah ritual doa untuk memohon kesembuhan kepada Tuhan sekaligus mencari sebab munculnya penyakit. Ritual ini umumnya dilakukan bagi mereka yang menderita penyakit akut dan tak kunjung sembuh meskipun telah minum berbagai jenis obat. Dalam perkembangannya, besalih juga digelar untuk memohon keselamatan bagi perempuan yang sedang mengandung atau doa minta jodoh.
Belakangan, besalih tidak hanya digelar bagi kesembuhan warga Suku Bathin saja, tapi juga warga suku lain. Dalam ritual Besalih, digelar sesaji berupa ketan bersantan, wajik, cucur, serabi, dodol, dan balai-balai tempat sesaji. Selain itu, juga disiapkan siri layang, burung (ayam) ondan, burung denak, burung elang, lelayang, dan burung bebarau.
Perlengkapan yang banyak tersebut membuat ritual ini dikenal mahal. Dahulu, sebagian besar bahan sesaji mudah didapat dari hutan. Namun, karena hutan kini semakin habis, sebagian besar bahan harus dibeli, sehingga membebani warga. Akibatnya, ritual besalih saat ini hanya digelar oleh sebagian kecil warga Bathin yang mampu saja meskipun tidak semua prosesi digelar penuh agar menghemat biaya.
Diambang Kepunahan
Berkurangnya lahan hutan dan program kelapa sawit, membuat beragam ritual upacara adat Suku Bathin terancam punah. Hal itu juga dialami oleh Suku Anak Dalam yang memiliki kemiripan pola hidup dengan Suku Bathin, seperti pola hubungan dengan alam.
Saat ini, kehidupan berladang Suku Bathin sudah tidak lagi nyaman seperti dulu, karena banyak dari mereka yang kehilangan tanah. Mereka terusir dari tanah leluhur yang sudah sejak lama mereka tempati. Akibatnya, secara tidak langsung mereka juga tercerabut dari akar sejarah dan kebudayaannya. Dalam kondisi ini, alih-alih menggelar ritual adat, mempertahankan hidup saja mereka sudah kesulitan.
Setali tiga uang, untuk menggelar ritual besalih mereka tidak lagi gampang menemukan bahan- bahannya di hutan. Sementara untuk membeli, mereka tidak memiliki uang sehingga tradisi itu terpaksa ditinggalkan. Akibatnya, jika anak atau saudara mereka sakit, mereka akan menggelar ritual besalih dengan seminimal mungkin persiapan, karena untuk ke dokter, mereka juga tidak punya cukup biaya.
Suku Bathin saat ini berada dalam dua keadaan yang sulit antara mempertahankan tradisi leluhur dan hidup dengan realitas yang rumit.
www.Melayuonline.com

1 komentar:

Terimakasih atas comment nya kawan. Silahkan datang kembali ke blog saya ini ya?